Pengislaman di Pulau Jawa
Sejarah Wali di pulau jawa
Islam di Pulau JawaBanten Rante-rante (SBRR). Teks ini berisi
sejumlah cerita tentang riwayat hidup tiga tokoh sejarah: Pangeran Ampel Danta,
Susuhunan Gunung Jati dan Maulana Hasanuddin selama paruh kedua abad ke-15 dan
paruh pertama abad ke- 16. Secara lebih biasa, teks ini boleh dilihat sebagai
suatu visi atas pengislaman Pulau Jawa, yang dijalankan melalui perang sabil.
Beragam legenda tersebut terdapat juga dalam versi yang berkesamaan dalam Babad
Cirebon, dalam bagian pertama kronik Banten berjudul Sajarah Banten, serta juga
dalam Wawacan Sunan Gunung Jati dan Sajarah Para Wali.
Sejarah Banten juga mengandung satu bagian
kedua yang lebih historis, bahkan mengandung banyak fakta kongkret, mengenai
sejarah Banten pada abad ke-17 sampai tahun 1659. Versi tertua teks ini
dikarang tahun 1662/63. Dua salinan bebas diciptakan tahun 1701/02 dan 1732.
Teks ini disusun dalam wujud tembang macapat dan ditulis dalam aksara Jawa.
Sejarah Banten Ranté-Ranté yaitu teks
independen dalam wujud prosa dan bertulisan pegon. Isinya sekumpulan kisah,
yang disusun sekitar tahun 1700: berdasarkan Djajadiningrat (1983: 220), antara
1662 dan sekitar 1725.
Menurut sejarah Banten, Sunan Gunung Jati
yaitu "seorang yang keramat, yang bapaknya berasal dari Yamani dan ibunya
dari Bani israil (Djajadiningrat 1983133). (Nama Bani Israil diterapkan dalam
al-Qur' an untuk menunjuk bangsa
Yahudi.) Tokoh ini betul-betul populer sarnpai hari ini; kisah dan legenda
tentang riwayat hidupnya betul-betul banyak, bahkan sosok potretnya dalam
budaya Jawa mungkin sekali memadukan kisah tentang sebagian tokoh berbeda. Apabila berjenis-jenis legenda
ini dibandingkan dengan kesaksian
sebagian penulis Portugis (salah satunya, Fernao Mendes Pinto, ikut
serta dalam perang melawan Pasuruan
tahtın 1546) maka bisa disaring sebagian faktor
biografi.
Sunan Gunung Jati lahir di Pasai. Saat kota
ini direbut orang Portugis, tahun 1521 , ia pergi ke Mekkah dan belajar di
sitil selama dua atau tiga tahun. Waklu pulang ke Indonesia, ia mungkin singgah
di Pasai tapi pesat pindah ke Jepara. la memperistrikan adik Pangeran
Trenggana, Sultan Demak, kemudian ke Jawa Barat dan merebut kota Banten. Dengan
bantuan bala tentara dari Demak, ia juga merebut kota Sunda Kelapa tahtın 1527 , kemudian ikut serta serta
dalam serangan Demak atas Pasuruan tahun
1546, dan kesudahannya menetap di Cirebon Di kota itulah ia meninggal sekitar
tahun 1570.
la dikenal dengan sebagian nama Said
Muhammad Nurullah, Syarif Hidayatullah, Falatehan dan Tagaril. la yaitu tokoh
utama sejarah pengislaman Jawa Barat dan ia juga pendiri Kerajaan İslam Banten,
tapi putranyalah Maulana Hasanuddin (1552-1570) yang dilihat sebagai raja İslam
pertama di Banten oleh historiografi Jawa. Hasanuddin meneruskan jasa ayahnya,
sampai meninggal tahtın 1570, yaitu kiranya pada tahtın yang sama dengan ayahnya
(Djajadiningrat 1983:214).
Naik
Haji Sambil Belajar Tarekat
Petikan Hikayat Hassanudin di bawah ini
berisi kisah Sunan Gunung Jati dan
Hassanudin naik haji. Ibadah haji dijalankan , progres ritualnya disebut, tapi
kisah ini betul-betul singkat. Info lebih diutamakan yaitu pembelajaran kedua
tokoh tersebut dalam berjenis-jenis tarekat.
Disebut nama dua guru Sunan Gunung Jati,
yaitu Najmuddin al-kubra di Mekkah dan ibn Ata’illah al-Shadhili di Madinah, Selanjutnya ini jelas salah sebab
al-kubra ( 1145-1221 ) tak mengajar di makkah tapi di Khawarazm,di Asia Tengah,
bahkan jauh sebelumnya, pada abad nformasi pada abad ke- 12 dan ke-13, meskipun
Ibn Ata’illah (Ob. 1309/ 10) mengaiar di Mesir pada abad ke-13.
Selain itu, dalam hal ini SBRR saita,
karena bagian yang terdapat dalam hikayat hasanuddin mengutip siIsilah rohani
Najmuddin al-Kubrá, berupa nama 10 orang syekh antara al-kubra dan Nabi
Muhammad, ditambah lagi nama ke-27 murid yang konon belajar bersama Sunan
Gunung Jati. Dari guru yang kedua, Ibn 'A(ä'illâh, dikatakan bahwa Sunan
(Gunung Jati dibaiatnya dalam tarekat Syadhiliyah, Syattariyah dan
Naqsyabandiyah.
Van Bruinessen (1994) yang menjadi sumber
seluruh keterangan tentang tarekat di sini sudah menelaah dan mengindentifikasi
seluruh tokoh tersebut. Mereka sebenarnya tak sezaman dengan Sunan Gunung Jati,
bahkan tak sezaman satu sama lain, tapi pengutipan nama mereka dalam SBRR
membuktikan bahwa tarekat Kubrawiyah berikut sejarahnya dikenal dengan cukup
mendalam di Banten pada waktu teks tersebut disusun, yaitu sekitar tahun 1700.
Beberapa van Bruinessen menyusuri berjenis-jenis jejak tarekat dalam sejarah Islam di Indonesia.
Inilah model satu lagi dari sebuah teks
sejarah yang tak menyajikan sebuah informasi historis yang ideal, tapi
mengandung informasi yang tak keok
nilainya tentang budaya setempat dan tentang maksud penulisnya, dalam hal ini
tentang pengetahuan penulis akan berjenis-jenis terakat dan maksudnya lintuk
mempertautkan tarekat itu dengan Sunan Gunung Jati. Di atas sudah disebut empat
tarekat; wajib ditambah satu lagi, yaitu Khalwatiyah, sebab Sunan Gunung Jati
dibaiat dalam tarekat ini oleh seorang syekh bernama Datuk Barhul waktu ia
singgah di Pasai sepulangnya dari Mekkah, atas suruhan Nabi Muhammad sendiri.
Sunan Gunung Jati naik haji dua kali.
Pertama kalinya ia pergi seorang dan sehabis berhaji ia dibaiat dalam kelima
tarekat di atas. Kali kedua, ia memberi
bimbingan putranya, Hasanuddin, naik haji dan kemudian di Madinah, dalam
tarekat Naqsyabandiyah. Simpulan waktu kemudian Hasanuddin berumur 20 tahun
(Edel h. 38).
Dalam tulisan Iain, vanBruinessen
(1992:43-45) mencatat bahwa episode Hasanuddin dibaiat dalam tarekat
Naqsyabandiyah tak disebutkan Sajarah Banten versi 1662, tapi ada dalam versi
1725, dengan inti sari bahwa tarekat tersebut terbukti menjadi tersohor di
Banten antara kedua itu. Memang dikenal
bahwa Naqsyabandiyah disebarkan di Indonesia mulai paruh kedua abad ke-17.
Masih perlu ditunjukkan kenapa Sunan Gunung
Jati dan Maulana Hasanuddin, yang hidup lama sebelum periode tersebut,
disebutkan pembaiatannya dalamberbagai tarekat. Selama periode 1662-1725 (masa
ditulisnya SBRR), Banten di bawah
pemerintahan Sultan Ageng Tirtayasa (mem. 16511682), sudah menjadi sebuah
sentra pendidikan agama Islam yang tenar, yang berorientasi ke Mekkah dan yang
secara mantap berhubungan dengan Mekkah
dan Madinah. Itulah juga periode kehadiran dan dampak Syekh Yusuf al-Makasari
(ia tiba di Banten sekitar tahun 1670; lih. Bab berikut), juga periode
pertikaian antara Sultan Ageng dan putranya (yang kemudian menjadi Sultan
Haji), yang akan berakibat intervensi Belanda serta penangkapan Sultan Ageng
dan Syekh Yusuf tahun 1683. Syekh Yusuf pernah dibaiat dalam 10 tarekat lebih,
terutama dalam Naqsyabandiyah dan Khalwatiyah. la bahkan bergelar Al-Taj
al-Khalwati (Mahkota tarekat Khalwatiyah).
Teks sejarah yang ditulis selama periode
konflik politik sering kali yaitu usaha legitimasi atau usaha membuktikan suatu
kejadian. Disebutnya sebagian tarekat, terutama Naqsyabandiyah dan Khalwatiyah
dalam SBRR dan Hikayat Hasanuddin, mungkin sekali bertujuan mengutamakan Sunan
Gunung Jati dan Hasanuddin atas Syekh Yusuf dalam pengetahuan (dan barangkali
penyebaran) tarekat tersebut.
B. Kesimpulan
Kedua kutipan di bawah ini disusun
berdasarkan kronologinya (ayah dulu, baru putranya), meskipun terdapat dalam
urutan sebaliknya dalam Hikayat Hasanuddin. Teks di bawah ini yaitu teks edisi
Edel (1938) yang disederhanakan dan dibakukan.
Petikan H 126-144. Sunan Gunung Jati,
aslinya Said Muhammad sebagai suatu rahasia. Kisahnya sebagai berikut. Waktu
berumur 15 tahun, ia didesak oleh keluarganya agar menggantikan ayahnya yang
sudah wafat, ia berkeberatan. Pada suatu malam, ia bermimpi bertemu dengan Nabi
Muhammad, yang menyuruh ia naik haji clan berguru "kepada segala orang
muhaqqiq dan saleh"
Beliau berangkat dengan bekal seribu dinarpemberian
ibunya. Di tengah jalan, ia dicekal oleh pembegal Yahudi, tapi mereka dibuatnya
masuk Islam (Ian mengikutnya. Sesampainya di Mekah, sambil menanti waktu naik
haji, ia bergurll pada al-imam Najmuddin al-Kabiri [Najmuddïn al-Kubrä].
Sisilah sufi tokoh ini diuraikan, lalu murid-murid seperguruan didaftarkan.
Oleh gurunya ia dinamakan Syekh al-Madzkurullah, diberikan sebuah khirqah
(jubah seorang sufi) dan disuruh naik haji serta menimba ilmu selama 20 tahun. la
mula-mula diajari tarekat Naqsyabandiyah, lalu berguru selama 22 tahun pada Ibn
Ata'ullah al-Shadzili [Ibn 'Atä'illãh al-lskandarï al Shãdhilï] dan diajari
tarekat Syattariyah, lalu diberi nama Said Syekh Nurullah.
Pada suatu malam, ia bercita-cita bertemu
lagi dengan Nabi Muhammad, yang
memerintah ia pergi ke Pasai dan menimba ilmu pada Datuk Bahrul, lalu
pergi ke Tanah Jawa untuk mengislamkan orang
Jawa. Karenanya berangkatlah ia. Di
tengah jalan ia bertemu dengan dua pandita yang ikut serta mengantarnya
sampai ke Bukit Selan.
Setibanya di
Pasai, ia berguru pada Datuk Bahrul, yang mengajarinya tarekat Khalwatiyah. La
meneruskan perjalanannya ke Cirebon, namun "jatuh ke negeri Keling".
la bertemu seorang Keling yang menunggui keranda rajanya. Orang Keling itu
diajarkannya masuk Islam, kemudian ia berjalan lagi sampai ke Gunung Jati di
Cirebon. Di sana ia berguru pada Datuk Panjunan, yaitu Maulana Baghdad yang
disebut pada awal kisah ini.
Petikan H 36-38.
Waktu Maulana Hasanuddin, anaknya Sunan Gunung Jati, sampai umur tujuh tahun,
ia dibawa oleh ayahnya naik haji: cukup dibungkus dalam sebuah selendang,
beberapa lama lagi sudah berada di Mekkah. la diajari semua rukun haji,
kemudian "ziarah kepada Nabi Allah Rhidir", lalu ke Madinah dan
dibaiat dalam tarekat Naqsyabandiyah. Kemudian
bersama-sama pulang ke Jawa lewat tanah Minangkabau.
Posting Komentar untuk "Pengislaman di Pulau Jawa"