DI LAPANGAN FUTSAL, EVO TERKAPAR
Baru saja saya selesai beres-beres meja kerja. Tiba-tiba saja, telepon cerdas (baca : smart phone) saya berdering, di layar tertera nama Dinda Totok. Telepon masuk ini berasal dari salah seorang adik junior saya di Kampus dulu. Sudah 8 tahun kami terpisah, semenjak saya menamatkan kuliah di Fakultas Ekonomi di Kampus Merah, Universtitas Hasanuddin (UNHAS) Makassar.
Kami berdua saat ini tinggal di Yogyakarta. Saya bekerja di sebuah perusahaan start up bidang digital marketing agency. Sementara Dinda Totok fokus meniti karir di jalur politik di salah partai nasionalis berlambang garuda. Diluar itu, adik saya tingkat saya ini juga menyandang amanah sebagai ketua ikatan alumni UNHAS di Yogyakarta. Itulah pengikat kedekatan kami, itupulah mungkin alasan kenapa ia menghubungi saya kali ini.
“Kanda, kanda dimana?” suaranya terdengar terburu-buru di ujung telinga saya
“Masih di kantor dinda, ini sudah mau pulang” jawab saya singkat.
“Kanda, langsung ke JIH-ka dulu” pintanya masih dengan tergesa-gesa
Sejurus saya pun langsung heran, ada apa gerangan dengan anak ini? Sampai saya diminta langusung ke Jogja International Hostpital Yogyakarta.
“Ada apa dinda?” cecarku
“Anu kanda, ada junior ini kecelakaan” suaranya terisak.
“Ok, baik dinda, WA ya nama ruangannya” balasku. Berharap ia menutup telepon dilanjut mengirimkan saya pesan lewat pesan whatsapp. Sementara saya sedang berjalan menuju parkiran. Rupanya ia tidak mematikan telepon.
“Masih di UGD-ji kanda” terusnya masih dengan logat aksen Makassarnya.
“baik dinda” balasku singkat dan telepon pun dimatikan.
Kisaran 25 menit kemudian, saya sudah tiba di ruang UGD rumah sakit megah ini. Langsung saya arahkan langkah saya menemui Dinda Totok dan serombongan temannya, yang saya yakini juga adalah junior saya juga di kampus merah Makassar, cuma banyak yang tidak saya kenal, maklum lulusan angkatan tua.
Setelah sedikit basa-basi bersama mereka, saya menarik tangan Dinda Totok menuju food court yang tersedia di lobby rumah sakit modern ini.
“Siapa yang kecelakaan dinda?” cecarku
“Evo kanda, anak sastra 2018” jelasnya menjelaskan nama anak itu, jurusan dan angkatannya di Kampus UNHAS.
“Sebenarnya bukan kecelakaan bagaimana kanda, tadikan kami ikut turnamen futsal, dan Evo tadi jatuh terjengkang di lapangan dan terkapar. Begitu jatuh langsung pingsan, makanya kami larikan kesini” terang adikku yang lebih tinggi dan berbadan besar ini.
Masih sambil menikmati kopi hangat kami bersama 2 orang junior yang lain. Dari pintu masuk, seorang perempuan cantik yang saya kenal akrab datang menghampiri. Dia adalah Dian, rekan seangkatanku namun beda fakultas dan sekarang juga domisili di Jogja ikut suaminya.
“Ekh ada Om Dian, kebetulan nih” sapanya ramah. Masih seramah dulu, saat kami dulu masih sepasang sejoli di kampus. Sayang saat ini dia adalah mantan terindah dalam hidupku. Dia memutuskanku, 4 hari sebelum wisuda.
“Apa yang kamu bawa itu Dian” sergahku sok kurang bersahabat, menutupi rasa kagumku atas pesona yang masih kukagumi hingga hari ini.
“Ini ada resep obat dan ada catatan dari dokter UGD, jadi Evo itu harus dioperasi sore ini juga, karena ada pembekuan di syaraf otaknya, dan ini butuh persetujuan keluarga sekarang juga” jelas Dian, gaya bicara, suaranya masih dengan pesona uniknya.
“Loh, tinggal kau tanda tanganin kan Dian” sergahku masih dengan pura-pura ketus.
“Ya gak gitu juga kali om, keluarganya harus dikabari dulu, terus biayanya gimana nanti” Dian juga mulai ketus padaku.
“Totok, telepon kelurganya sekarang! Ini pake HP-ku, karena pasti kamu tidak punya pulsa kan?” Perintah seraya pamer di depan Dian, kalau saya gak pernah kehabisan pulsa.
“He he he, siap Kanda” jawab Totok. Sementara Dian, menunjukkan mimik sebel pada saya, saya yakin ia mulai jengkel dengan gaya saya yang ketus dan kurang bersahabat plus pamer tadi.
“Dian, itu anak pasti ada ya asuransinya? Minimal asuransi jagadiri buat kalo ada kasus kayak gini” sapaku kembali pada Dian, dengan mulai bersahabat.
“Ya mana saya taulah, emangnya itu anak tinggal sama saya” kali ini Dian yang ketus pada saya.
“Saya kan cuma konfirmasi Dian” dan Dian tidak merespon apa-apa lagi, rupanya ia marah benar pada saya. Ia pun beranjak menuju ruang UGD kembali setelah mencampakkan lembaran-lembaran yang dipegangnya tadi persis di depan saya.
Lembaran itu saya ambil dan saya tanda tanganin semua, tanpa menunuggu konfirmasi dari keluarga Evo yang saat ini sedang heboh terdengar dibalik telepon saya yang saat ini dipakai Dinda Totok.
Saya tinggalkan meja food court tersebut, menuju meja administrasi. Untungnya tidak perlu antri, saya sekarang duduk di depan meja Costumer Service bernama Mellisa.
“Cantik juga” gumamku
“Assalamu Alaikum Pak, saya Mellisa, siap membantu bapak, ada yang bisa saya bantu pak” tanyanya dengan suara melenakanku
“Oh iya mbak, gini mbak. Ini adik saya lagi di rawat di UGD dan kata dokter jaganya, harus ada tindakan operasi sore ini, tolong sampaikan ke UGD, berikan yang terbaik untuk adik saya ini. Masalah biaya, saya yang tanggung, kalau perlu itu mobil Pajero Dakkar 4x4 AT siap saya jaminkan” cerocos dengan sok kaya dihadapan Mellisa sambil menunjuk ke parkiran.
“Oh baik pak, pasti rumah sakit kami akan berikan yang terbaik, masalah biaya itu bisa diurus belakangan kok, yang adiknya tertangani dengan baik, bukan begitu pak?” tanya Mellisa dengan suara lembutnya.
“Oh iya mbak, adik saya ini belum mendaftar asuransi manapun, jadi tolong sekalian daftarkan di asuransi kesehatan terbaik yang jadi mitra rumah sakit ini” perintahku pada Mellisa
“Baik pak, pembayaran preminya berarti saya tagihkan sekalian ya pak” tanya Mellisa
“Ya, boleh mbak, mbak Mellisa mau daftarkan anaknya juga boleh kok, sekalian aja” jiwa super hero-ku tiba-tiba bergejolak.
“Boro-boro anak pak, suami aja belum punya” jawab Mellisa dengan senyum tersipu malu.
“Oh maaf mbak” jawabku dengan senyum bahagia. Jiwa play boy-ku menggelora
“Ekh, mbak. Punya korek kuping gak disitu” tanyaku mengganggu kesibukan Mellisa di layar komputernya.
“Gak donk pak, masak kesini bawa korek kuping” Mellisa kembali tersipu malu.
“Kalau nomor WA punya donk”, sergahku cepat sembari menyerahkan selember kertas post it yang saya comot di meja kerja Mellisa
Dan... Mellisa lagi-lagi tersipu malu.
Kami berdua saat ini tinggal di Yogyakarta. Saya bekerja di sebuah perusahaan start up bidang digital marketing agency. Sementara Dinda Totok fokus meniti karir di jalur politik di salah partai nasionalis berlambang garuda. Diluar itu, adik saya tingkat saya ini juga menyandang amanah sebagai ketua ikatan alumni UNHAS di Yogyakarta. Itulah pengikat kedekatan kami, itupulah mungkin alasan kenapa ia menghubungi saya kali ini.
“Kanda, kanda dimana?” suaranya terdengar terburu-buru di ujung telinga saya
“Masih di kantor dinda, ini sudah mau pulang” jawab saya singkat.
“Kanda, langsung ke JIH-ka dulu” pintanya masih dengan tergesa-gesa
Sejurus saya pun langsung heran, ada apa gerangan dengan anak ini? Sampai saya diminta langusung ke Jogja International Hostpital Yogyakarta.
“Ada apa dinda?” cecarku
“Anu kanda, ada junior ini kecelakaan” suaranya terisak.
“Ok, baik dinda, WA ya nama ruangannya” balasku. Berharap ia menutup telepon dilanjut mengirimkan saya pesan lewat pesan whatsapp. Sementara saya sedang berjalan menuju parkiran. Rupanya ia tidak mematikan telepon.
“Masih di UGD-ji kanda” terusnya masih dengan logat aksen Makassarnya.
“baik dinda” balasku singkat dan telepon pun dimatikan.
Kisaran 25 menit kemudian, saya sudah tiba di ruang UGD rumah sakit megah ini. Langsung saya arahkan langkah saya menemui Dinda Totok dan serombongan temannya, yang saya yakini juga adalah junior saya juga di kampus merah Makassar, cuma banyak yang tidak saya kenal, maklum lulusan angkatan tua.
Setelah sedikit basa-basi bersama mereka, saya menarik tangan Dinda Totok menuju food court yang tersedia di lobby rumah sakit modern ini.
“Siapa yang kecelakaan dinda?” cecarku
“Evo kanda, anak sastra 2018” jelasnya menjelaskan nama anak itu, jurusan dan angkatannya di Kampus UNHAS.
“Sebenarnya bukan kecelakaan bagaimana kanda, tadikan kami ikut turnamen futsal, dan Evo tadi jatuh terjengkang di lapangan dan terkapar. Begitu jatuh langsung pingsan, makanya kami larikan kesini” terang adikku yang lebih tinggi dan berbadan besar ini.
Masih sambil menikmati kopi hangat kami bersama 2 orang junior yang lain. Dari pintu masuk, seorang perempuan cantik yang saya kenal akrab datang menghampiri. Dia adalah Dian, rekan seangkatanku namun beda fakultas dan sekarang juga domisili di Jogja ikut suaminya.
“Ekh ada Om Dian, kebetulan nih” sapanya ramah. Masih seramah dulu, saat kami dulu masih sepasang sejoli di kampus. Sayang saat ini dia adalah mantan terindah dalam hidupku. Dia memutuskanku, 4 hari sebelum wisuda.
“Apa yang kamu bawa itu Dian” sergahku sok kurang bersahabat, menutupi rasa kagumku atas pesona yang masih kukagumi hingga hari ini.
“Ini ada resep obat dan ada catatan dari dokter UGD, jadi Evo itu harus dioperasi sore ini juga, karena ada pembekuan di syaraf otaknya, dan ini butuh persetujuan keluarga sekarang juga” jelas Dian, gaya bicara, suaranya masih dengan pesona uniknya.
“Loh, tinggal kau tanda tanganin kan Dian” sergahku masih dengan pura-pura ketus.
“Ya gak gitu juga kali om, keluarganya harus dikabari dulu, terus biayanya gimana nanti” Dian juga mulai ketus padaku.
“Totok, telepon kelurganya sekarang! Ini pake HP-ku, karena pasti kamu tidak punya pulsa kan?” Perintah seraya pamer di depan Dian, kalau saya gak pernah kehabisan pulsa.
“He he he, siap Kanda” jawab Totok. Sementara Dian, menunjukkan mimik sebel pada saya, saya yakin ia mulai jengkel dengan gaya saya yang ketus dan kurang bersahabat plus pamer tadi.
“Dian, itu anak pasti ada ya asuransinya? Minimal asuransi jagadiri buat kalo ada kasus kayak gini” sapaku kembali pada Dian, dengan mulai bersahabat.
“Ya mana saya taulah, emangnya itu anak tinggal sama saya” kali ini Dian yang ketus pada saya.
“Saya kan cuma konfirmasi Dian” dan Dian tidak merespon apa-apa lagi, rupanya ia marah benar pada saya. Ia pun beranjak menuju ruang UGD kembali setelah mencampakkan lembaran-lembaran yang dipegangnya tadi persis di depan saya.
Lembaran itu saya ambil dan saya tanda tanganin semua, tanpa menunuggu konfirmasi dari keluarga Evo yang saat ini sedang heboh terdengar dibalik telepon saya yang saat ini dipakai Dinda Totok.
Saya tinggalkan meja food court tersebut, menuju meja administrasi. Untungnya tidak perlu antri, saya sekarang duduk di depan meja Costumer Service bernama Mellisa.
“Cantik juga” gumamku
“Assalamu Alaikum Pak, saya Mellisa, siap membantu bapak, ada yang bisa saya bantu pak” tanyanya dengan suara melenakanku
“Oh iya mbak, gini mbak. Ini adik saya lagi di rawat di UGD dan kata dokter jaganya, harus ada tindakan operasi sore ini, tolong sampaikan ke UGD, berikan yang terbaik untuk adik saya ini. Masalah biaya, saya yang tanggung, kalau perlu itu mobil Pajero Dakkar 4x4 AT siap saya jaminkan” cerocos dengan sok kaya dihadapan Mellisa sambil menunjuk ke parkiran.
“Oh baik pak, pasti rumah sakit kami akan berikan yang terbaik, masalah biaya itu bisa diurus belakangan kok, yang adiknya tertangani dengan baik, bukan begitu pak?” tanya Mellisa dengan suara lembutnya.
“Oh iya mbak, adik saya ini belum mendaftar asuransi manapun, jadi tolong sekalian daftarkan di asuransi kesehatan terbaik yang jadi mitra rumah sakit ini” perintahku pada Mellisa
“Baik pak, pembayaran preminya berarti saya tagihkan sekalian ya pak” tanya Mellisa
“Ya, boleh mbak, mbak Mellisa mau daftarkan anaknya juga boleh kok, sekalian aja” jiwa super hero-ku tiba-tiba bergejolak.
“Boro-boro anak pak, suami aja belum punya” jawab Mellisa dengan senyum tersipu malu.
“Oh maaf mbak” jawabku dengan senyum bahagia. Jiwa play boy-ku menggelora
“Ekh, mbak. Punya korek kuping gak disitu” tanyaku mengganggu kesibukan Mellisa di layar komputernya.
“Gak donk pak, masak kesini bawa korek kuping” Mellisa kembali tersipu malu.
“Kalau nomor WA punya donk”, sergahku cepat sembari menyerahkan selember kertas post it yang saya comot di meja kerja Mellisa
Dan... Mellisa lagi-lagi tersipu malu.
Posting Komentar untuk "DI LAPANGAN FUTSAL, EVO TERKAPAR"